Riset : Remaja Soppeng Hanya Matang Secara Seksual Tetapi Tidak Kejiwaan

DBS NEWS, SOPPENG – Remaja pelaku pernikahan usia dini di Kabupaten Soppeng dinilai hanya matang secara seksual, tetapi tidak matang dalam hal kepribadian dan kejiwaan.

Hal ini berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Universitas Negeri Makassar (UNM), Abdul Rahman, dan telah dipublikasikan pada tahun 2022 lalu.

Mengambil sampel di Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng. Peneliti menyebut, tidak matangnya kepribadian dan kejiwaan para pelaku pernikahan usia dini berdampak pada tingginya angka perceraian di Kabupaten Soppeng.

Menurutnya, banyak pasangan suami istri yang telah melangsungkan pernikahan usia dini belum mengetahui atau belum bisa memenuhi hak dan kewajibannya sebagai pasangan.

Masalah kecil yang seharusnya bisa diselesaikan dengan kepala dingin selalu berakhir dengan pertengkaran yang hebat.

“Hal ini terjadi karena belum ada kesiapan fisik atau mental dari pasangan tersebut, keduanya masih cenderung dengan sifat egois mereka yang masih sangat tinggi,” tulis Abdul Rahman dalam penelitiannya.

Pernikahan harusnya tidak dianggap hal yang mudah. Apabila dalam pernikahan timbul masalah, maka harus ada saling pengertian satu sama lain, salah satu harus mengalah dan menghilangkan sifat egoisnya.

Apabila tidak terjalin komunikasi yang baik dalam menyelesaikan masalah yang ada, biasanya terjadilah perceraian.

“Perceraian terjadi bukan hanya pada pasangan yang menikah karena terpaksa atau karena keinginan orang tua, tetapi perceraian juga terjadi pada pasangan yang menikah karena keinginan sendiri.”

“Biasanya perceraian yang terjadi pada pasangan pernikahan usia dini disebabkan rasa egois yang tinggi dan pikiran yang belum matang,” tulis Abdul Rahman.

Tak hanya berdampak pada tingginya angka perceraian, pernikahan usia dini juga berpengaruh besar terhadap hubungan masing-masing keluarga pasangan.

Menurut peneliti, apabila pernikahan mengalami kegagalan akan menimbulkan masalah serius antara dua keluarga.

Masalah ini bisa sampai membuat terputusnya hubungan keluarga diantara keduanya, yang kemudian akan mengakibatkan kesedihan bagi kedua belah pihak dan keluarga dari pasangan pernikahan usia dini tersebut.

Di samping itu apabila perceraian terjadi pada anak-anaknya maka orang tua dan keluarga yang lain dari masing-masing pasangan biasanya memutuskan tali silaturahmi.

Ini berdampak pada keutuhan keluarga antara masing-masing pasangan suami dan istri. Keluarga tidak lagi menjadi satu kesatuan yang saling bekerja sama dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

“Dari hasil wawancara dapat disimpulkan bahwa, perceraian yang terjadi pada pasangan pernikahan usia dini juga berpengaruh terhadap hubungan antara keluarga masing-masing pasangan.”

“Ketika pasangan tersebut bercerai selain para anak yang tidak pernah saling menyapa lagi, para orang tua juga melakukan hal yang sama,” tulis peneliti.

Selain itu, pernikahan usia dini juga berimplikasi bagi para pelakunya dimana tingkat pendidikan mereka menjadi sangat rendah, pasalnya banyak pelaku pernikahan usia dini harus putus sekolah.

“Di Kecamatan Lalabata, pasangan yang menikah di usia dini rata-rata pendidikannya hanya tingkat SD sampai SMP. Adapun yang menikah pada saat duduk di bangku SMA biasanya hanya sampai kelas X,” tulis Abdul Rahman.

Pasangan yang menikah dengan tingkat pendidikan hanya sampai SD atau SMP ini dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan juga rendahnya pula pendidikan orang tua sehingga mempunyai pola pikir yang sempit.

Menurut peneliti, kebanyakan pasangan yang telah menikah tidak melanjutkan lagi sekolahnya atau putus sekolah.

Bagi perempuan biasanya karena tidak mendapat izin dari suami untuk melanjutkan sekolahnya, suami lebih menginginkan istri di rumah mengurus rumah tangga dan anak-anaknya dengan baik dari pada bersekolah lagi.

Sementara bagi laki-laki, dia sibuk bekerja untuk menafkahi anak dan istrinya sehingga tidak ada lagi kesempatan untuk melanjutkan sekolahnya.

“Pernikahan dini di Kecamatan Lalabata terjadi karena beberapa penyebab antara lain karena kebutuhan ekonomi yang mendesak, kehamilan di luar nikah, keinginan orangtua, dan rendahnya tingkat pendidikan,” tulis peneliti dalam kesimpulannya. (id)

Komentar